Friday, January 27, 2012

Waste budget, mirrors the failure of democracy..!!

10xym3d
Multi dimensional problems began hunger and malnutrition, poverty, destitution, flood, etc. Was whack people and bring misery and disaster for them. One small example, in Lebak district of Banten, there are 22 bridges are very important for people damaged by floods. Including bridges 'Indiana Jones' on the river that connects the village Ciberang Ciwaru, the village of Tanjung district Sangiang Kalanganyar the village of Tanjung Pasir village Cikaray Rangkasbitung district. On this bridge, school children go to school when I got home and has to cross a river by swinging suspension bridge climbing the sloping. (bad english) can be seen the news from here..!!
Ironically, in the midst of society ridden a variety of problems that, to our budget extravagance exhibited in various institutions of this country and even competing to impress them in luxury. That fact was very hurt feelings of the people and harassing conscience of humanity.
Waste of public money.
Waste of public money is not the monopoly of a particular agency or institution. waste that occurs in various institutions in both the executive, legislative or judicial branches. For example the House of Representatives recently revealed the existence of a variety of fantastic projects. Among them: Renovation Budget Agency meeting space Rp. 20.3 billion, toilet renovation. Rp. 2 billion, finger print Rp. 4 billion, etc.. While in government circles there are also many indications that the budget wasteful and ineffective. FITRA data shows, the State Secretariat budget in 2012 reached Rp. 80.4 billion. In fact, in 2011 only Rp. 8.8 billion. (See, mediaindonesia.com/20/1).
Causes and Modes.
One of the reasons that the fundamental political system of democracy is costly. The politicians need a huge cost, reach billions per person, to finance the political process. The funds can come from its own funds or from the capitalist barons. As a result the politicians use all means to return capital to himself and cukongnya, plus benefits. Among the mode, direct facilities such as facility visits and the like. Or through projects that odd amount of the budget, type of project or process. Projects that were mentioned could be included this mode.
All of that is getting worse by the hedonistic desire to self politisa and state officials. While still in office, they use the facility as comfortable and as luxurious as possible. Perhaps that is captured from the budget supplement bsia stamina enhancer for the House of Representatives which reached Rp. 800 million, or renovation of indoor Budget Agency, and the renovation and procurement of furniture in the Supreme Court which reached Rp. 11 billion. More fundamentally, it reflects the thinness of the faith and piety in themselves. They no longer remembered the hereafter. The world has become their goal. (Da'wah Bulletin Al-Islam 591)

Thursday, January 26, 2012

Pengertian VEGETARIAN

Change-to-vegan
1. Pengertian Vegetarian
Vegetarian berasal dari kata vegetus, yang artinya lincah, segar dan penuh dengan semangat hidup. Vegetarian mempunyai dua pengertian, yakni pengertian sebagai kata benda dan kata sifat. Sebagai kata benda, berarti orang yang berpantang makan daging, tetapi hanya makan sayur-sayuran dan bahan makanan nabati lainnya. Sebagai kata sifat, vegetarian berarti tidak mengandung daging atau kebiasaan berpantang daging. Dengan demikian, kaum vegetarian sudah tentu akan menjauhkan diri dari makanan yang meengandung daging.
2. Jenis-jenis Vegetarian
Kata vegetarian mengacu pada pola makan tanpa daging hewani. Produk-produk hewani lainnya seperti susu sapi, telur ayam dan madu dihindari oleh sebagian orang vegetarian yang PERCAYA bahwa pola makan seharusnya berdasarkan atas makanan-makanan nabati. Jenis-jenis vegetarian dijelaskan menurut ukuran sejauh mana menghindari produk-produk hewani, dari pola makan pseudo-vegetarian yang meliputi sebagian dari daging hewan hingga vegan murni, yang menghindari segala macam produk yang berasal dari hewan. Jenis-jenis vegetarian tersebut antara lain:
A. Vegan
Vegan kadang diartikan sebagai vegetarian murni, atau vegetarian total. Vegan (istilah yang mengambil suku kata pertama dan terakhir dari kata "vegetarian") tidak memakan produk hewani apapun. Kelompok vegetarian ini meninggalkan sama sekali produk hewani dan turunannya, termasuk gelatin, keju, yoghurt. Selain itu, mereka juga menghindari madu, royal-jelly, dan produk turunan serangga. Sebagian besar orang vegan menghindari madu karena dibuat oleh lebah, yang sering terbunuh pada saat pengambilan madu dari sarangnya. Mereka juga menghindari penggunaan hewani seperti kulit hewan ataupun kopsmetik yang mengandung produk hewani.
B. Vegetarian Lacto
Vegetarian Lacto adalah tipe vegetarian yang mengkonsumsi bahan pangan nabati dan berpantang makan daging ternak, daging unggas, ikan dan telur beserta produk olahannya, namun masih mengkonsumsi susu.
C. Vegetarian Ovo
Vegetarian Ovo adalah tipe vegetarian yang berpantang makan daging ternak, daging unggas, ikan dan susu beserta produk olahannya, namun mengkonsumsi telur.
D. Vegetarian Lacto-Ovo
Vegetarian Lacto-Ovo adalah tipe vegetarian yang paling umum ditemui. Tipe ini tidak juga mengkonsumsi segala jenis daging, baik daging ternak maupun daging unggas dan juga ikan. Namun, mereka masih mengkonsumsi susu dan telur.
E. Pseudo Vegetarian
Karena kepercayaan yang salah bahwa vegetarian adalah orang yang hanya menghindari "daging merah" maka banyak orang yang menyebut dirinya sebagai vegetarian walaupun memakan daging ayam dan ikan secara rutin. Karena unggas dan ikan adalah termasuk hewan, pola makan demikian paling baik diistilahkan sebagai pseudo-vegetarian. Tipe vegetarian ini kadang juga dinamakan dengan istilah pollo-vegetarian atau pesco-vegetarian. Pollo-vegetarian adalah tipe vegetarian yang mengkonsumsi daging unggas, seperti daging ayam, kalkun dan bebek tapi tidak mengkonsumsi jenis daging lainnya. Sedangkan pesco-vegetarian atau juga dikenal dengan pescatarian adalah tipe vegetrarian yang menhindari segala jenis daging, namun masih mengkonsumsi ikan.
F. Semi Vegetarian
Flexitarian adalah tipe vegetarian yang hanya mengkonsumsi daging sekali atau dua kali dalam seminggu atau pada saat-saat tertentu saja.
G. Fruitarian
Fruitarian adalah tipe vegetarian yang hanya mengkonsumsi buah-buahan sebagai makanan sehari-hari.
Kira-kira begitulah penjelasan yang saya dapat dari sini dan teringat sebuah lagu dari Youth Of Today yang berjudul No More.
"Meat eating flesh eating think about it
so callous to this crime we commit
always stuffing our face with no sympathy
what a selfish, hardened society so
No More
just looking out for myself
when the price paid is the life of something else,
No More
i won't participate 
we've got the power we've got the might
to take whatever is in sight
not even worried, it's an unfair fight
well we've got a heart to tell us what's right
our numbers are doubling in 88
cause the people are starting to educate
themselves their friends and their families
and we'll have a more conscious society"
AKHIRNYA, SEMUA KEMBALI KE DIRI KALIAN MASING-MASING..!!!

Wednesday, January 25, 2012

Muhammad Aditya Firmansyah, 6 years old boy who take care her mother who was paralyzed, alone..!!

1318232841649224425
Thus ended the struggle of Muhammad Aditya Firmasyah alias Adit (6), the boy from Nganjuk take care Sunarti, birth mother who was paralyzed. Sunarti died at 10:20 GMT, Tuesday morning at the Hospital Nganjuk. Now the fate of the sad and sorry again be in a natural Aditya.
The boy who was 5 years old and have to take care of his mother, who was paralyzed in their rented house in the Village District of the City Nganjuk Kramat. Aditya was so inspired us all, the boy must fend for themselves caring for her mother who was paralyzed. Began to wash her ​​clothes up to serve food that could only lie on the mattress. So stirred the heart of what made ​​Adit, though ultimately he still lost his mother.
Sunarti Aditya's mother who suffered paralysis which he suffered more severe and affected decobitus ulcers or bed sores are open at the waist mother to rot, since December 13, 2011 and then again undergoing treatment at the hospital until eventually died January 24, 2012. Treatment and healing process becomes difficult because Sunarti too long lying in bed without being able to change the position and nothing is helping to change its position.
But of course the mother Adit proud to have a child like that never leave it alone, still loves her mother despite the mother in a state of pain and should be treated. Adit not care who got as a boy his age. But Adit never complain, let alone to send his mother came to the nursing home would not have happened at Sunarti, mother Adit. Because his son is Aditya, a kid from the tip of the java island is full of inspiration. Source another Source
Video:
Well, Adit story remind me about Uwais Al-Qarni. Rasulullah SAW said: "If you want to meet with him (Uwais al-Qarni), notice, he has a white mark in the middle of the palm of his hand."

Tuesday, January 24, 2012

New Phase

Ahhhh, begitu cantik dan lucunya mereka ini. Yakk, ini lah binatang-binatang AMAZING..!!

Posted via email from Cyber Storage - Posterous

Friday, January 20, 2012

Bekasi Patriot City Geographical Conditions

Lambang_bekasi

Area and Geographical Location:
Bekasi city has an area of ​​approximately 210.49 km2, with a limit of Bekasi City area are:
• North: Bekasi Regency
• South: Bogor and Depok
• West: DKI Jakarta Province
• East: Bekasi Regency
Geographical location: 106o48'28''- 107o27'29''east longitude and 6o10'6''- 6o30'6''south latitude.

Topography:
Topographic conditions of Bekasi City with a slope of between 0-2% and is situated at an altitude between 11 m - 81 m above sea level.
• The height> 25 m: Medan Satria District, North Bekasi, South Bekasi, East Bekasi and Pondok Gede
• The height of 25-100 m: Bantargebang District, Pondok Melati, Jatiasih

Areas with low altitude and slope of the area causing a lot of puddles, especially during the rainy season: in Jatiasih District, East Bekasi, Rawalumbu, South Bekasi, West Bekasi, and the District of Pondok Melati.

Geology and Soil Types:
Geological structure is dominated by the Bekasi City area volcanik Pleistocene facies, but there are two districts that have the characteristics of other structures, namely:
• North Bekasi: Structure of Alluvium
• East Bekasi: The structure of Miocene sedimentary facies
In South Bekasi there are gas wells JNG-A (106o 55 '8.687 "BT; 06o 20'54, 051") and Wells JNGB (106o 55' 21.155 "East; 06o 21 '10.498")

Hydrology and climatology:
Bekasi hydrological conditions can be divided into two:

1. Surface water, including rainwater conditions which flows into the rivers.

Bekasi region drained 3 (three) main rivers namely Cakung River, Bekasi River and Sunter River, and its tributaries. Bekasi river upstream on the Cikeas River have derived from the mountain at an altitude of approximately 1500 meters from the water surface.

Surface water contained in Bekasi City area include river / times Bekasi and several streams / small times and irrigation channel in addition to the West Tarum used to irrigate rice fields is also a source of raw water for drinking water needs of the City (city and district) and the Jakarta area. Surface water conditions Bekasi time now polluted by industrial wastes located in the southern part of Bekasi City area (the industry in the district of Bogor).

2. Ground water

Groundwater conditions in the region Bekasi some good potential for use as a source of clean water especially in the southern city of Bekasi, but for the area around the landfill Bantargebang condition of groundwater is likely contaminated.

Bekasi territory belonging to the climate is generally dry with low humidity levels. Environmental conditions are very hot day. This is especially influenced by land use increased primarily industrial / commercial and residential. Daily temperatures are estimated to range between 24-33 ° C.

Settlement:
Population Bekasi currently more than 2.2 million people spread across 12 districts, namely District of Pondok Gede, Jati Sampurna, Jati Asih, Bantar Gebang, East Bekasi, Rawalumbu, South Bekasi, West Bekasi, Medan Satria, North Bekasi, Mustika Jaya, Pondok Melati. Source

Posted via email from Cyber Storage - Posterous

Sunday, January 15, 2012

Representative of the people? Rubbish..!!

Miras

A few days ago came the news that Indonesian interior minister would repeal a regulation prohibiting liquor. There are at least nine liquor regulations are required to be revoked by the minister of interior. Decision sparked protests and resistance from many quarters. Revocation decision was considered to be counterproductive to efforts to overcome the destruction of morality and rampant crime in the community. Protests also came from a number of governments that have issued regulations alcohol.

Interior minister justified revocation of liquor regulations-regulations that violate the rules because of the higher, namely Presidential Decree No. 3 of 1997 on the supervision and control of alcoholic beverages. Presidential Decree was issued on the new order era full of problems. It should decree it should be repealed problematic. Because that's decree became rampant circulation culprit alcohol in the community. Moreover, the decree was meant to justify the case that was clearly forbidden Allah SWT. Higher where the law of Allah than the president's decision? Which one is better, the law of Allah or the law of ignorance that comes from the voracious human passions?

Posted via email from Cyber Storage - Posterous

Tuesday, January 10, 2012

Kisah Bapak Tua Penjual Amplop (Renungan Hidup)

Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.

Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.

Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.

Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.

Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.

Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.

Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.

Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.

Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku. 

Lanjutan Kisah “Bapak Tua Penjual Amplop Itu”
Posted on 28 November 2011

Tulisan saya yang terdahulu yang berjudul Bapak Tua Penjual Amplop Itu ternyata mendapat respon yang luar biasa dari pembaca. Setelah saya lihat statistik di Worpress ternyata tulisan tersebut sudah dibaca puluhan ribu kali dan tanggapan komentar hingga hari ini mencapai 336 buah. Saya sendiri tidak menyangka atas respon yang luar biasa tersebut, sebab tulisan ini hanyalah sekadar catatan kecil yang biasa saya tulis dari pengalaman yang saya temui.

Banyak yang bertanya kepada saya bagaimana caranya memberikan sedekah atau sumbangan buat bapak tua itu. Saya sendiri juga belum tahu teknis pengumpulan dan pemberian sedekah tersebut, karena maksud tulisan tersebut bukanlah untuk mengumpulkan infaq/shadaqoh buat si bapak. Pertanggungjawabannya nanti juga agak susah, tetapi yang lebih saya khawatirkan (mudah-mudahan saja tidak terjadi) adalah perubahan sikap si bapak yang karena sedekah yang berturut-turut tersebut khawatir membuat dia salah menafsirkan sehingga timbul sikap “mengemis” belas kasihan dengan menjual amplop.

Mudah-mudahan tidak begitu ya, tetapi mohon maaf saya belum bisa menyalurkan sumbangan, silakan salurkan sedekah ke lembaga amil terdekat dari Masjid Salman seperti Rumah Amal Salman ITB atau PKPU. Saya tetap punya pendapat bahwa cara terbaik membantu bapak itu adalah membeli jualannya, kalaupun melebihkan uang pembelian tidak apa-apa. Untuk urusan modal usaha dan perbaikan taraf hidup si bapak, biarlah itu tugas lembaga amil zakat tadi. Kalaupun anda jauh dari Bandung dan tidak bisa membeli amplopnya, anda masih bisa membeli dagangan orang-orang dhuafa di lingkungan terdekat anda. Masih banyak orang kecil lainnya dis ekitar kita yang membutuhkan perhatian. Tetapi sekali lagi, terima kasih atas semua niat baik, mudah-mudahan Allah SWT sudah membalas niat baik itu dengan pahala.

Seorang mahasiswa ITB aktivis Masjid Salman ITB, Romi Hardiyansyah, mencoba menemui bapak penjual amplop dan mewawancarainya di kantor Rumah Amal Salman ITB. Laporan wawancaranya itu dia muat di akun fesbuknya. Saya minta izin memuat hasil wawancara itu di dalam blog ini, sebagai informasi yang lebih lengkap tentang bapak penjual amplop. Banyak yang masih penasaran seperti apa bapak itu dan bagaimana hidupnya. Yang jelas bapak tua itu masih setia berjualan di depan gerbang kampus ITB atau di depan gerbang Masjid Salman, tidak hanya hari Jumat tetapi sekali-sekali pada hari yang lain.

Di bawah ini tulisan Romi Hardiyansyah yang dimuat di dalam http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150390709462123

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bapak Penjual Amplop

Setelah membaca catatan dari salah seorang dosen ITB melalui website pribadinya, saya mencoba menggali lebih dalam tentang bapak penjual amplop ini. Yang saya tahu bahwa bapak ini hanya berjualan setiap hari jumat saja di pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Namun, ketika hari selasa saya mendapatkan laporan dari salah seorang rekan bahwa bapak penjual amplop ini menjajakan dagangannya di salah satu gerbang keluar ITB. Saya tidak menemuinya karena jadwal kuliah yang padat. Barulah ketika rabu, 23 Nopember 2011, sepulang kuliah sekitar pukul 12.00, saya menemuinya di tempat biasa ia menjajakan amplop-amplopnya, yaitu di depan pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Saya berniat untuk menemuinya setelah saya melaksanakan shalat zhuhur.

Sekitar pukul 13.00, saya dan Kang Dadan (karyawan Rumah Amal Salman-ITB) bergegas menuju pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Kang Dadan ada keperluan untuk menyampaikan amanah infaq salah seorang jamaah di Jakarta kepada beliau sementara saya memang berkeperluan untuk bercakap-cakap dan membeli amplopnya. Kami meminta beliau merapikan dagangannya dan mau berbincang-bincang dengan kami di salah satu ruangan di kantor Rumah Amal Salman-ITB. Alhamdulillah beliau mau dan segera mengemas amplop-amplopnya. Selama mengemas amplop-amplopnya, kami menerima banyak komentar dari para pedagang-pedangang lain di sekitar.

Menurut para pedagang, tidak sedikit orang yang membeli satu atau dua amplop tapi dibayar seharga Rp 5.000, Rp 20.000, bahkan Rp 50.000. Si Bapak justru sering berkata kepada para pembeli bahwa uang yang diberikannya kelebihan. Namun, para pembeli mengatakan agar diambil saja lebihnya.

Setelah bercakap-cakap dengan para pedagang sekitar, si Bapak ini pun siap untuk kami ajak ke kantor. Ia membawa tas besarnya pada bahu sebelah kiri dan menjinjing plastik berisi amplop dengan tangan kanannya. Tibalah kami di salah satu ruangan di kantor Rumah Amal Salman-ITB dan mulailah percakapan kami. Sebenarnya selama perjalanan ke rumah amal pun kami bercakap-cakap di jalan.

Namanya Suhud, lahir di Tasikmalaya 76 tahun yang lalu. Ayahnya asli Tasikmalaya sedangkan Ibunya asli Kuningan. Bapak yang sudah hidup tiga perempat abad ini suka merantau kesana kemari semasa mudanya hingga sekarang tinggal menetap bersama anak terakhir dan cucunya di Manggahan, Dayeuh Kolot. Pak Suhud memiliki tiga orang anak yang semuanya laki-laki semua. Anak pertama dan keduanya tidak tinggal bersama Pak Suhud. Semua anaknya memiliki keterbatasan dalam ekonomi sehingga jika beliau menggantungkan diri kepada anaknya, tentu akan susah. Dari sinilah beliau memutuskan untuk berdagang di usianya yang sudah renta.

Pak Suhud sehari-harinya berjualan amplop. Ya, amplop. Ia hanya berjualan amplop, tidak dengan yang lain. Pak Suhud menjajakan amplop-amplopnya di Pasar Simpang Dago dari pagi sampai siang kemudian dilanjutkan menjajakan amplop-amplopnya di pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Selain itu, Pak Suhud juga menjajakan amplopnya di Sukajadi, Kebun Binatang, dan tempat-tempat lainnya. Beliau baru sekitar sebulan yang lalu menjajakan dagangannya di Salman.

Amplop-amplop tersebut ia ambil dari tetangganya. Kemudian Pak Suhud akan menerima upah sesuai dengan banyaknya amplop yang bisa ia jual. Setoran tersebut tidak dibatasi waktu, boleh kapan saja. Jika pembeli sedang sepi, boleh jadi hari itu tidak setor dulu sampai dengan banyak amplop yang terjual.

Pak Suhud memulai usaha ini dari 2001. Namun karena usianya yang sudah renta, 10 tahun tersebut tidak semuanya digunakan untuk berjualan amplop, terkadang jika sedang capai, ia tidak berangkat mencari nafkah. Sebelum berjualan amplop, Pak Suhud berjualan sayur mayur. Istri Pak Suhud meninggal dunia 6 tahun yang lalu sehingga penghasilan yang beliau dapatkan murni beliau gunakan untuk keperluan hidup beliau sehari-hari. Ketiga anaknya mengetahui bahwa ayahnya ini berjualan amplop untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Pak Suhud berangkat dari rumahnya di Dayeuh Kolot sekitar pukul 03.30 dan pulang menuju rumahnya sekitar pukul 14.00. Beliau menggunakan angkutan perkotaan atau bis kota sebagai sarana transportasinya. Beliau mengatakan lama perjalanan bisa sampai dua atau tiga jam. Sungguh, perjuangan yang sangat hebat bagi laki-laki paruh baya ini.

Penghasilan Pak Suhud sehari-hari jelas tidak menentu. Terkadang tidak ada satu pun amplop yang terjual sehingga untuk kembali pulang ia biasanya meminjam uang pada pedagang-pedagang sekitar dan berjanji akan menggantinya jika nanti amplopnya ada yang membeli. Tetangga yang menjadi tempat setornya tidak mempermasalahkan akan keterlambatan setoran, jelas beliau. Beliau menambahkan ongkos pergi-pulangnya tiap hari sebesar Rp 12.000, padahal penghasilannya tiap hari belum tentu sebesar itu. Pada siang hari, Pak Suhud biasa makan di tempat makan yang beliau katakan murah harganya. Pemilik rumah makan sering mengatakan bahwa jika beliau ingin makan, silakan datang saja tanpa perlu membayar.

Beliau mengambil 100 amplop dari tetangganya seharga Rp 7.500 dan ia menjualnya seharga Rp 10.000. Artinya, untuk 100 amplop yang terjual, ia hanya mendapatkan untung Rp 2.500 saja. Jika dipikir-pikir, siapa yang mau membeli amplop sebanyak itu? Kalau pun ada yang membelinya, keuntungan yang beliau peroleh jelas tidak bisa digunakan untuk makan nasi sekalipun. Allahu a’lam. Ketika ditanya kenapa memilih berjualan amplop, ia hanya menjawab sngkat saja, karena amplop ringan, masih bisa beliau bawa dibandingkan jika beliau berdagang yang lainnya.

Karena usianya yang sudah tua, tentu fisiknya pun tidak lagi seperti anak muda. Pak Suhud mengatakan bahwa matanya kini telah kurang awas (rabun), pendengarannya kurang berfungsi dengan baik, dan dadanya sering pengap. Saya memerhatikan, beliau berbicara dengan suara yang lirih sekal dan tangan yang benar-benar gemetar baik di kala berbicara, di kala merapikan amplop-amplopnya, di kala membawa tas, dan lainnya.

Dalam keadaan yang seperti itu, Pak Suhud tetap tegar untuk menjaga kehormatannya dengan tidak meminta-minta. Begitu pula yang dikomentarkan para pedagang di sekitar pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Mereka menambahkan, banyak yang badannya masih bujangan, perkasa, gagah, dan kuat, namun meminta-minta. Kami menutup pembicaraan siang itu dengan menyampaikan amanah infaq dari Rumah Amal Salman-ITB.

Sebenarnya, ketika awal sampai akhir perbincangan saya berusaha menahan air mata agar tidak keluar karena mendengar suara Pak Suhud yang begitu lirih dan tangannya yang gemetaran. Terima kasih Pak Suhud. Darimu, saya belajar sebuah perjuangan..

Semoga kelapangan dan keberkahan rezeqi menyertaimu Pak. Dan Allah, tidak akan menyiakan hamba-hamba-Nya..

Bandung, 23 Nopember 2011

Romi Hardiyansyah
0852 842 39760/aemrum@gmail.com

Posted via email from Cyber Storage - Posterous

Friday, January 6, 2012

Riba + Kemiskinan = Pemimpin Yang, Enggak Bangeeeeettt...!!!

Kartun-kemiskinan

Sudah jelas dikatakan Al-Quran bahwa Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Kini riba justru dijadikan tulang punggung perekonomian. Utang Indonesia dalam system riba pada Juni 2011 mencapai Rp. 1.716 triliun.
Orang yang mengabaikan fakir-miskin disebut oleh Al-Quran sebagai pendusta agama. Faktanya, justru proses pemiskinan terus berjalan dan makin meluas. Di Indonesia, jumlah orang miskin yaitu orang yang pengeluarannya kurang dari Rp. 211.726,- perbulan atau kurang dari Rp. 7ribuan perhari, jumlahnya mencapai 31,02 juta jiwa. Biaya sekolah mahal. Biaya rumah sakit pun melangit.
Islam menegaskan bahwa air, hutan, barang tambang dan energy merupakan milik rakyat. Realitasnya, semua itu malah diserahkan kepada pihak asing atau swasta. Listrik diprivatisasi. Uangnya dikorupsi! Sumber: Buletin Al-Islam Edisi 571.
Saat ini, pemimpin negara yang seharusnya makmur dan sejahtera ini seolah-olah menutup matanya dengan hal yang namanya kemiskinan rakyatnya. Mungkin niat awalnya beda kali, memperkaya keturunan dan saudara-saudaranya. Kasus-kasus korupsi banyak yang belum selesai, bendahara Partai Demokrat sendiri blom di kelarin, apalagi Gayus. Negara ini memang sudah rusak dari akarnya, sangat sulit untuk bangkit jikalau orang-orang tua di parlemen, dewan, dan jabatan penting negara masih bercokol dengan pemikiran mereka yang masih tertanam pikiran tamak bin serakah itu. Negara ini merindukan sosok pemuda yang bisa merubah bangsa ini kearah yang lebih baik, seperti saya yang akan melakukan perubahan secara perlahan-lahan. Mungkin di mulai dengan membiayai anak-anak yang kurang beruntung untuk bisa merasakan pendidikan sampai bangku sekolah menengah atas. Setidaknya mereka merasakan pendidikan dasar, karena itu modal awal untuk tercapainya cita-cita saya ini. Yaitu, memajukan kecerdasan bangsa..!! Bismillah…..

Posted via email from Cyber Storage - Posterous